Incandescent (Part. 2 - End)
Setelah melalui serangkaian proses yang panjang dan
melelahkan sampai nggak tidur semalaman, adu argument dan saling lempar
candaan, serta setelah menghabiskan beberapa bungkus nasi goreng beberapa saat
sebelum adzan subuh berkumandang, akhirnya karya ini selesai juga.
Sebuah cerita tentang seorang tuna rungu dan tuna wicara ,
selanjutnya panggil saja C, yang berjuang untuk melawan keterbatasannya,
mencoba untuk menunjukkan eksistensinya bahwa dia berhak dan mampu untuk
menempuh pendidikan formal meski harus bergabung dengan orang-orang yang
normal. Mencoba menjadi dirinya sendiri dengan cara yang mungkin orang lain
menganggapnya sebagai sebuah hal yang sangat tabu.
Meski pada akhirnya kami harus jadi juara dua dan hanya
membawa pulang tiket konser Rio Febrian dan Letto, tapi tetap saja ada yang
tertinggal dan membekas. Ya, beberapa kali kami harus berinteraksi langsung
dengan orang-orang berkebutuhan khusus di Pusat Studi Layanan DIfabel yang ada
dikampus. Mereka dengan caranya sendiri mampu mengajariku banyak hal, salah
satunya adalah betapa aku menjadi sangat takjub ketika C berkomunikasi dengan
seorang tuna netra, bisa dibayangkan? C (selalu sepaket dengan menderita tuna
wicara) membuat bahasa isyarat dari tangan yang ditempelkan di telapak tangan
si tuna netra, dan kemudian sang tuna netra menebak abjad apa yang ada di
telapak tangannya dengan meraba bentuk jari C. Saat mengambil gambar ini,
rasanya badanku semakin menghangat, entah apa yang mengaliri tubuhku saat itu. Yang
jelas, inilah bentuk keajaiban lain yang Dia ciptakan.
Setelah lomba itu selesai, ada satu momen yang benar-benar
membuatku geram. Ya, saat musim UTS datang, tiba-tba seorang teman memintaku
untuk menggantikannya menemani C untuk ujian lisan. Pada awalnya aku enggan,
bukan apa-apa aku hanya belum begitu lancar mengerti dan menggunakan bahasa
isyarat. Dua pilihan yang sangat sulit karena keduanya punya norma
masing-masing. Tapi aku tak punya pilihan lain, membantunya dengan apa adanya
atau tidak sama sekali. Saat menunggu giliran dia masuk (ternyata no. urut
presensi dia di akhir sodara”), dia menceritakan banyak hal, mulai dari
keluarganya, kegiatan di beberapa perkumpulan yang dia ikuti dan salah satunya
adalah perkumpulan yang mungkin akan menjadi sebuah kontroversi kalau aku sebut
disini, so just make it a secret.
Dengan kemampuan berbahasa isyaratku yang payah, aku pun
masuk ke ruang kelasnya bersama kelima temannya yang juga ujian. Rasanya aku
sangat gugup dan tegang, apalagi begitu mendengar suara sang dosen penguji yang
sangat keras, tegas dan cenderung kaku, aku sempat mengajak seorang teman yang
lebih menguasai materi yang diujikan kali ini (Sistem Ekonomi teman”, something that I really don’t understand
about it). Ternyata sang dosen
penguji hanya memperbolehkan satu pendamping dan sang temanku pun meyakinkanku
kalau aku bisa disaat aku menganggap bahwa salah mengerti sedikit aku akan
membawa petaka bagi C. Apapun itu aku hanya berniat untuk membantunya untuk
ujian, hanya itu, dan aku sudah berusaha semampuku meski harus curi-curi
strategi dalam menerjemahkan bahasa isyarat pada sang dosen penguji. Ujian pun
selesai dan aku hanya bisa berdoa bahwa apa yang aku lakukan tadi itu benar.
0 Response to "Incandescent (Part. 2 - End)"
Post a Comment