Incandescent (Part. 1)


Dalam kamusku *kamus yang aku punya*, artinya  pijar. i. bulb bola lampu pijar. i. light cahaya lampu pijar. Secara harfiah yang namanya lampu itu pasti menerangi, memberikan cahaya, memunculkan secercah harapan, membangkitkan kehangatan. Dan ternyata cahaya tidak hanya bisa didapat dari lampu. Banyak hal yang memberikan cahaya dengan caranya sendiri.

Sebuah kebetulan saat lagi ngeliat timeline di twitter ada satu akun yang meretweet sebuah pengumuman tentang lomba film tentang diffabel. Aku pun melihat link yang ada di sana, dan berbekal pengalaman bikin film pas mata kuliah Psikologi Industri Organisiasi, aku pun tertarik untuk berpartisipasi. Beruntung aku punya teman-teman yang punya banyak akses ke sana, mereka aktif menjadi volunteer untuk orang-orang diffabel di kampus. Satu keberuntungan lain karena kampus ini merupakan kampus inklusi yang juga menerima mahasiswa dengan kebutuhan khusus. 

Setelah berhasil membentuk satu tim, kami pun mulai merencanakan tentang segala sesuatu tentang film ini. Mulai dari pemilihan tokoh, alur cerita, setting dan lain sebagainya. Ya, bikin film itu gampang-gampang susah. Sampai saat ini yang paling susah adalah saat harus menggunakan talent agar scene terlihat ‘penuh’ orang. Mengingat mengangkat tentang orang diffabel, agak susah juga sih cari talent yang mau ikut berpartisipasi. Entah karena enggan berinteraksi dengan orang-orang diffabel atau menganggap bahwa kami sedang main-main yang tak berguna. Alhamdulillah, saat proses pengambilan gambar yang pertama diluar ekspektasi kami. Meski awalnya hanya beberapa orang saja dan sempat menerima penolakan dari beberapa orang untuk bergabung, pas di tengah pengambilan gambar pas ada dosen yang lewat mau ke berangkat ke masjid, dan sempat memberikan komentar atas apa yang kami lakukan saat itu *scene.nya tentang salah seorang diffabel yang sedang mengajarkan bahasa isyarat*.

Dari proses pengambilan gambar saat itu, aku jadi tahu, bahwa si tokoh yang kami angkat ini, meski dia transgender serta menderita tuna rungu dan tuna wicara, dia sangat aktif diberbagai kegiatan. Mulai dari mengajarkan bahasa isyarat di Diffabel Center kampus, mengikuti beberapa aktivitas kelompok diffabel, menjabat sebagai Ketua DAC (Deaf Art Community), komunitas seni tuna rungu di Yogyakarta, dan masih banyak lagi. Ia juga punya segudang prestasi, seperti merancang busana untuk iklan, ikut kontes Miss Waria dan masuk masuk 10 besar, mendapat gelar Miss Waria teladan 2007 di Jakarta, juga menari dibawah asuhan Didi Nini Thowok. Yang jelas, bulan Oktober mendatang, dia akan mewakili Indonesia untuk mengikuti Miss Deaf International di Thailand. Dia bercerita bahwa akan memakai beberapa gaun dari berbagai perancang busana, bahkan rancangan dari Ivan Gunawan.

See, ternyata baru hari pertama ngambil gambar aja aku sudah mendapatkan banyak sekali hikmah. Ternyata dia lebih berprestasi dari aku yang normal, ternyata dia bisa lebih kuat dan tangguh dari aku yang normal, ternyata dia lebih berpijar dari aku yang normal. Ini membuatku berintrospeksi, lebih banyak bersyukur dan bersemangat kembali. Bahwa judul skripsi yang belum tepat independent variablenya bukan akhir dari segalanya.. keep fight, guys.. ;)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Incandescent (Part. 1)"

Post a Comment